TRADISI HUKUM DUNIA
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem Hukum Indonesia merupakan hal yang telah menjadi
wacana berkelanjutan, yang tidak hanya melibatkan ahli dan pemerhati hukum,
tetapi juga telah menarik ke dalamnya berbagai kalangan untuk ikut menyampaikan
pendapat. Ini merupakan sesuatu yang dapat dimengerti mengingat dalam
kenyataannya hampir tidak ada celah kehidupan yang tidak ‘diintervensi’ norma
hukum.
Slogan-slogan Ubi
Sociates Ibi Ius, Fiat Jutitia
Ruat Caelum, dan lain-lainya menegaskan bahwa dalam masyarakat yang
paling sederhana sekalipun keberadaan norma hukum sebagai suatu pranata sosial
secara nyata telah menjadi qonditio
sine quanon bagi keberlangsungan masyarakat tersebut sebagai suatu
entitas. Namun demikian, apakah itu berarti hukum yang ada di suatu masyarakat
telah menjadi sesuatu yang sistemik, dengan kata lain apakah hukum yang ada
pada masyarakat tersebut telah terbangun menjadi sistem hukum? Untuk menjawab
pertanyaan ini tentu harus dipastikan dulu apa yang dimaksud sebagai sistem
hukum, untuk dapat dijadikan tolok ukur, karena mungkin saja yang terdapat pada
suatu masyarakat adalah aturan-aturan hukum yang berserakan, yang tidak saling
berhubungan, atau kalaupun berhubungan tidak saling mendukung, justru saling
melemahkan.
Berdasarkan
pendapat Ludwig von Bertalanffy, H. Thierry, William A. Shorde/ Voich Jr.,
Bachsan Mustofa ( 2003: 5-6) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem hukum
adalah sistem sebagai jenis satuan yang dibangun dengan komponen-komponen
sistemnya yang berhubungan secara mekanik fungsional yang satu dengan yang lain
untuk mencapai tujuan. Sistem hukum terdiri dari komponen jiwa bangsa, komponen
struktural, komponen substansial, dan komponen budaya hukum.
Suherman tidak
sependapat jika pengertian sistem hukum hanya penggabungan istilah sistem dan
hukum. Menurutnya pengertian spesifik dalam hukum harus tercermin dari istilah
sistem hukum. Suherman mengemukakan pendapat J.H. Merryman sebagai
perbandingan. Menurutnya sistem hukum adalah suatu perangkat operasional yang
meliputi institusi, prosedur, atau aturan, dalam konteks ini ada suatu negara
federal dengan lima puluh sistem hukum di Amerika Serikat, adanya sistem hukum
setiap bangsa secara terpisah, serta ada sistem hukum yang berbeda seperti
halnya dala
Ada pendapat bahwa hukum Indonesia, dengan segala
keterbatasannya, telah terbangun menjadi suatu sistem. Norma hukum Indonesia,
ada yang telah lebih teruji oleh waktu lebih dari seabad, melewati berbagai
dinamika masyarakat dan sampai saat ini masih berlaku. Sejak pendidikan hukum
dilakukan secara formal di Indonesia, sistem hukum Indonesia telah menjadi
bahan kajian. Hampir tidak ada yang menyerukan agar dilakukan ‘revolusi’ dalam hukum,
yang banyak diserukan adalah reformasi dalam bidang-bidang hukum tertentu.
Dengan demikian krisis hukum yang sering disebut-sebut, boleh jadi bukan krisis
dalam sistem hukum secara keseluruhan, tetapi krisis dalam penegakan hukum.
BAB II
PERBANDINGAN
TRADISI HUKUM DUNIA
Tradisi hukum dunia dimulai dari Yunani. Plato mengatakan bahwa tujuan hukum
adalah keuntungan bagi seluruh masyarakat, untuk mencapai tujuan menggunakan
persuasi atau kekuatan untuk membuat semua orang menjadi bagian masyarakat
keseluruhan.
Aristoteles membagi hukum menjadi hukum dasar, yang universal dan tidak
berubah, dan hukum konvensional, yang berubah dari waktu ke waktu dan tempat
berbeda.
Aristoteles membagi keadilan menjadi keadilan distributif, yang sekarang
disebut keadilan sosial, dan keadilan korektif, yang berkaitan dengan
mengkoreksi ketidakadilan yang muncul ketika hukum dilanggar.
Ahli teori Yunani tidak membahas masalah validitas hukum immoral, tetapi
Antigone Sophocle merupakan contoh utama. Romawi kuno yang diwakili oleh Cicero
memberikan ide bahwa hukum merupakan produk pikiran manusia, karena semua hal
memiliki sifat masing-masing, dan sifat manusia adalah rasional. Bagi Cicero,
hukum yang bukan demi keuntungan masyarakat bukan hukum hukum yang sebenarnya.
Di awal era kristen, St. Augustine memberikan jembatan intelektual antara
era pra kristen dan kristen. Arti sesungguhnya dari proposisinya bahwa ”hukum
yang tidak adil bukan hukum” telah menjadi problematika.
Di abad pertengahan, St Thomas Aquinas mengembangkan teori hukum dasar yang
meneruskan tradisi pikiran pra kristen sebagai dasar hukum. Teori ini mesih
berpengaruh dalam gereja katolik Roma. Bagi Aguinas, biasanya (tapi tidak
selalu), tidak ada kewajiban untuk patuh kepada hukum positif yang melanggar
hukum dasar.
Setelah Aquinas, teroi hukum dasar mulai menjadi sekuler dengan karya
Grotius. Dengan karya Menurut Hume,
semua hukum dasar membuat kesimpulan dalam bentuk nilai dari proposisi dalam
bentuk fakta, sehingga tidak logis.
Hak fundamental diakui dan dilindungi oleh hukum Inggris dan hukum ME. UU
HAM 1998 menaikkan profil Konvensi Eropa tentang HAM, tetapi tidak
menggabungkan Konvensi dalam Hukum Inggris.
Munir Fuady menyatakan
terdapat lebih dari 11 pengelompokan sistem hukum. Menurutnya tradisi hukum
dunia dibedakan antara tradisi hukum Eropah Kontinental, tradisi hukum Anglo
Saxon, tradisi hukum sosialis, tradisi hukum kedaerahan, tradisi hukum
keagamaan.
Di antara sistem-sistem
hukum yang dikenal, sistem hukum Eropah Kontinental dan sistem hukum Anglo
Saxon banyak dipakai dan cenderung berpengaruh terhadap sistem hukum yang
dianut negara-negara di dunia. Sistem hukum Eropa Kontinental dikenal juga dengan sebutan Romano-Germanic Legal System adalah
sistem hukum yang semula berkembang di dataran Eropa. Titik tekan pada sistem
hukum ini adalah, penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis, berbagai
ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan
ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari
populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.
A.
SISTEM HUKUM EROPAH KONTINENTAL
Sistem Hukum Eropah Kontinental lebih mengedepankan
hukum tertulis, peraturan perundang-undangan menduduki tempat penting.
Peraturan perundang-undangan yang baik, selain menjamin adanya kepastian hukum,
yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya ketertiban, juga dapat diharapkan
dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Lembaga peradilan
harus mengacu pada undang-undang. Sifat undang-undang tertulis yang statis
diharapkan dapat lebih fleksibel dengan sistem bertingkat dari norma dasar
sampai norma yang bersifat teknis, serta dengan menyediakan adanya mekanisme
perubahan undang-undang.
Setelah kemerdekaan, pengaruh Sistem Eropah Kontinental
tampak dalam semangat untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi. Meskipun Hukum
Adat tetap diakui, tetapi pandangan yang lebih mengemuka adalah dalam
pembangunan hukum maupun optimalisasi fungsi hukum sebagai sarana untuk
melakukan rekayasa sosial dilakukan melalui peraturan perundang-undangan. Ajaran yang sangat berpengaruh
terhadap pola pikir masyarakat beberapa waktu sebelumnya, yaitu Mazhab Sejarah
yang dipelopori oleh Von Savigny dan teori keputusan yang dikemukakan oleh Ter
Haar, dianggap tidak relevan. Mazhab sejarah menyatakan bahwa hukum itu hinkt achter de feiten aan, hukum itu
tidak dibuat tetapi tumbuh secara historis atas dasar peristiwa-peristiwa yang
sudah terjadi. Teori keputusan menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang diakui
oleh penguasalah yang merupakan hukum.
Kedua
mazhab ini menyatakan bahwa hukum hanya menyangkut kejadian yang sudah sering
terjadi. Kedua paham ini dianggap tidak sejalan dengan pembangunan yang identik
dengan perubahan, dengan kemungkinan terjadinya hal-hal yang sebelumnya tidak
pernah terjadi. Dari sudut pandang ini inilah kedua mazhab ini dianggap tidak
relevan
B.
SISTEM HUKUM ANGLO SAXON
Sistem Anglo-Saxon
adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi,
yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar bagi
putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada
(kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat
(walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan
dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon).
Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih
mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan
dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga peradilan dengan sistem jurisprudensi
dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa keadilan dan
kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.
Secara umum antara Sistem Hukum Eropah
Kontinental dengan Sistem Hukum Anglo Saxon dibedakan berdasarkan mana yang
dipentingkan dalam pembentukan dan penegakkan hukum, melalui peraturan
perundang-undangan atau melalui jurisprudensi, secara lebih mendasar mana yang
lebih dipentingkan hukum tertulis atau hukum kebiasaan.
Mengingat kekurangan dan kelebihan antara
hukum tertulis dengan hukum kebiasaan, maka secara filosofis hal ini
berhubungan dengan masalah pengutamaan antara kepastian dan keadilan, yang
meskipun sama-sama merupakan nilai dasar hukum tetapi antara keduanya terdapat spannungsverhaltnis (ketegangan satu
sama lain).
C.
SISTEM HUKUM ADAT
Sistem Hukum Adat dinyatakan dianut oleh beberapa negara
di antaranya oleh Monggolia dan Srilangka (ada juga yang mengkategorikan
Indonesia sebagai negara penganut sistem hukum adat). Sistem hukum agama adalah sistem
hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu, yang umumnya terdapat dalam Kitab Suci. Arab Saudi,
Iran, Sudan, Suriah, dan Vatikan dikategorikan sebagai negara dengan sistem
hukum agama. Selain negara-negara tersebut, beberapa
negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya
Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum
Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.
Jika hukum adat yang ada di Indonesia, dihubungkan dengan
corak dasar kedua sistem hukum yang paling berpengaruh (Eropah Kontionental dan
Anglo Saxon), cenderung lebih dekat dengan sistem Ango Saxon. Hukum adat
terbangun dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam menghadapi situasi dan
kondisi tertentu, yang kemudian oleh masyarakat ditempatkan lebih dari sekadar
norma kesopanan atau kesusilaan menjadi norma hukum (opinio
juris sive necessitatis). Masyarakat tradisional Indonesia yang
bercorak patriarkhis, menempatkan tetua-tetua/ pemuka-pemuka adat sebagai tokoh
penting yang menentukan hukum jika masyarakat menghadapi suatu persoalan.
Meskipun tidak ketat mengikat, apa yang diputuskan akan diikuti jika terjadi
lagi hal serupa. Jadi Mirip dengan sistem preseden. Peran tetua/ tokoh/ ketua
suku menjadi sangat penting dalam membentuk hukum, sehingga dapat dipahami jika
yang dipilih seharusnya yang paling berpengetahuan dan bijak
Kompleksitas
sistem hukum Indonesia dibentuk oleh perjalanan sejarah Bangsa Indonesia.
Pertama kali kebudayaan yang muncul adalah kebudayaan Indonesia asli. Sebagai
produk kebudayaan asli ini adalah hukum adat. Kebudayaan ini berlangsung
sebelum kedatangan kebudayaan India (Hindu). Selanjutnya Indonesia memasuki
masa pengaruh kebudayaan Hindu. Pada abad ke-13 sampai ke-14 masuk pengaruh
Islam, dan hukum Islam berkembang dan memperkaya sistem hukum yang ada di
Indonesia. Baru pada abad ke-17 masuk kebudayaan Eropa-Amerika.
Pada masa kolonial Belanda, dengan penerapan asas
konkordansi, maka hukum yang berlaku di Hindia Belanda sejalan dengan hukum
yang berlaku di Belanda. Belanda merupakan salah satu pendukung terkemuka
sistem hukum Eropah Kontinental. Dengan demikian, secara mutatis mutandis sistem Eropah
Kontinental dilaksanakan di Indonesia. Walaupun demikian pada dasarnya Belanda
menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek)
yang membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli
dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di
Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku
pluralisme hukum. Dengan adanya lembaga penundukan diri secara sukarela, banyak
penduduk Indonesia saat itu menunduukan diri untuk terikat pada Hukum Barat,
terutama yang berusaha di bidang perdagangan. Dalam perkembangan hukum di
Indonesia selanjutnya, tampak kuatnya pengaruh hukum kolonial dan cenderung
meninggalkan hukum adat
Pemberian
wewenang yang lebih luas kepada Pengadilan Agama, tidak hanya sekadar menangani
nikah, talak, rujuk, juga membuat pengaruh Hukum Islam bagi warga Negara
Indonesia yang beragama Islam semakin luas, setelah sebelumnya memberikan warna
bagi Hukum Adat di beberapa tempat di Indonesia.
Sistem hukum di Indonesia dewasa ini
adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun dari proses penemuan,
pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan
ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut
oleh masyarakat internasional.
Tidak hanya unik, sistem hukum Indonesia adalah sistem
yang masih penuh dengan dinamika, untuk mencari format di mana ketertiban dan
keteraturan hukum sipil mendapat tempat, dengan tidak mengesampingkan keluwesan
hukum Anglo Saxon, serta tidak menghilangkan suasana kebatinan masyarakat
Indonesia.
Pencermatan terhadap kondisi nyata sistem Hukum Indonesia
dan Sistem Hukum yang dicita-citakan seharusnya menjadi bahan pertimbangan
dalam pembangunan hukum, termasuk dalam pembangunan pendidikan hukum.
Legislator yang handal dan Juris yang berkemampuan sama-sama diperlukan.
Tetapi, ahli mana yang jumlahnya lebih banyak dibutuhkan, keahlian apa yang
lebih banyak diperlukan tentu berbeda.
Komitmen untuk menegakkan supremasi hukum selalu
didengungkan, tetapi keberadaan hukum maupun sistem hukum bukanlah merupakan
ciri mendasar dari supremasi hukum. Supremasi hukum ditandai dengan penegakan rule of law yang sesuai dengan, dan yang membawa
keadilan sosial bagi masyarakat. Jadi yang terutama dan diutamakan adalah hukum
dan sistem hukum yang membawa keadilan bagi masyarakat.
Apapun sistem hukum yang dianut, pada
dasarnya tidak ada negara yang hanya didasarkan pada hukum tertulis atau hukum
kebiasaan saja. Tidak ada negara yang sistem hukumnya menafikan pentingnya
undang-undang dan pentingnya pengadilan
BAB
III
P E N U T U P
Hukum Indonesia,
dengan segala keterbatasannya, telah terbangun menjadi suatu sistem. Norma
hukum Indonesia, ada yang telah lebih teruji oleh waktu lebih dari seabad,
melewati berbagai dinamika masyarakat dan sampai saat ini masih berlaku. Sejak
pendidikan hukum dilakukan secara formal di Indonesia, sistem hukum Indonesia
telah menjadi bahan kajian. Hampir
tidak ada yang menyerukan agar dilakukan ‘revolusi’ dalam hukum,
yang banyak diserukan adalah reformasi dalam bidang-bidang hukum tertentu.
Di antara
sistem-sistem hukum yang dikenal, sistem hukum Eropah Kontinental dan sistem
hukum Anglo Saxon banyak dipakai dan cenderung berpengaruh terhadap sistem
hukum yang dianut negara-negara di dunia. Sistem hukum Eropa Kontinental dikenal juga dengan sebutan Romano-Germanic Legal System adalah
sistem hukum yang semula berkembang di dataran Eropa. Titik tekan pada sistem
hukum ini adalah, penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis, berbagai
ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan
ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya.
Sistem
Hukum Eropah Kontinental lebih mengedepankan hukum tertulis, peraturan
perundang-undangan menduduki tempat penting. Peraturan perundang-undangan yang
baik, selain menjamin adanya kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi
terwujudnya ketertiban, juga dapat diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai
keadilan dan kemanfaatan. Lembaga peradilan harus mengacu pada undang-undang.
Sistem
Anglo-Saxon
adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi,
yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar bagi
putusan hakim-hakim selanjutnya
Secara umum antara Sistem Hukum Eropah
Kontinental dengan Sistem Hukum Anglo Saxon dibedakan berdasarkan mana yang
dipentingkan dalam pembentukan dan penegakkan hukum, melalui peraturan perundang-undangan
atau melalui jurisprudensi, secara lebih mendasar mana yang lebih dipentingkan
hukum tertulis atau hukum kebiasaan.
Pada masa kolonial Belanda, dengan penerapan asas
konkordansi, maka hukum yang berlaku di Hindia Belanda sejalan dengan hukum
yang berlaku di Belanda. Belanda merupakan salah satu pendukung terkemuka
sistem hukum Eropah Kontinental. Dengan demikian, secara mutatis mutandis sistem Eropah
Kontinental dilaksanakan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri komentar atau like...masukan dan sarannya yang sifatx membangun sangat kami harapkan...