BAB
I
PENDAHULUAN
Sejak abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi, kawasan Asia Tenggara
mulai berkenalanan dengan “tradisi” Islam, meskipun frekuensinya tidak terlalu
besar. Pengenalan ini berlangsung sejalan dengan munculnya para saudagar Muslim
di beberapa tempat di Asia Tenggara. Bukti tertua adanya “komunitas” Muslim di
Asia Tenggara adalah dua buah makam yang bertarikh sekitar abad ke-5
Hijriah/ke-11 Masehi di Pandurangga (kini Panrang, Viet Nam) dan di Leran
(Gresik, Indonesia).
Kehadiran Islam secara lebih nyata di Indonesia terjadi pada sekitar abad
ke-13 Masehi, yaitu dengan adanya makam dari Sultan Malik as-Saleh yang mangkat
pada bulan Ramadhan 696 Hijriah/1297 Masehi. Ini berarti bahwa pada abad ke-13
Masehi di Nusantara sudah ada institusi kerajaan yang bercorak Islam.
Para saudagar Muslim sudah melakukan aktivitas dagangnya sejak abad ke-7
Masehi. Beberapa kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara sudah melakukan
hubungan dagang dan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah.
Bukti-bukti arkeologis yang mendukung ke arah itu ditemukan di Laut Jawa dekat
Cirebon. Di antara komoditi perdagangan yang asalnya dari Timur Tengah
ditemukan indikator “keIslaman” yang berupa sebuah cetakan tangkup (mould) yang
bertulisan asma‘ul husnah.
Meskipun sebagian besar masyarakat Indonesia menganut paham Sunni, namun
pada prakteknya saat ini di Sumatra dan Jawa menganut paham Syi‘ah. Data
arkeologis menunjukkan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Persia
melalui Gujarat, kemudian dibawa oleh para saudagar ke Asia Tenggara, khususnya
Indonesia dan Semenanjung Tanah Melayu.
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi
budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan
tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan
Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam
sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam
sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great
tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut
dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local)
atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.
Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang
permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada
ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi
keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola
bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center
(pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence-
kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi
local ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang
meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa
karya-karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini
kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan
menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh
kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang
tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi
lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap
budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar;
mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asliu; dan
memilkiki kemampuanmengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya
selanjutnya.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat
Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks
inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia.
Di sisi lain budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang
dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus dikembangkan
dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan
“akulturasi budaya”, antara budaya local
BAB II
BAB II
PERBANDINGAN HUKUM AGAMA DAN BUDAYA
A.
PENGERTIAN
AGAMA
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan
gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak
kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari
seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan
alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata
benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar
hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya.
Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang
moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris)
yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare
yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang
kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi
(vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal.
B.
PENGERTIAN
BUDAYA
Budaya menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem, gagasan,
tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik manusia dengan belajar.
Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari
antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang,
berrelasi dalam masyarakat adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja
terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam fikiran yang
kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan pandangan
hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia
yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran
terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka
memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan.
C.
AGAMA DAN
BUDAYA
Budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan
kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi
dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan
beberapa kondisi yang objektif.
Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang
berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Oleh karena itu
agama Kristen yang tumbuh di Sumatera Utara di Tanah Batak dengan yang di
Maluku tidak begitu sama sebab masing-masing mempunyai cara-cara
pengungkapannya yang berbeda-beda. Ada juga nuansa yang membedakan Islam yang
tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme adalah kuatdengan yang tidak.
Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan Hinduisme di India,
Buddhisme di Thailan dengan yang ada di Indonesia.
Tapi hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat
pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia
percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan,
struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain.
D.
AGAMA DAN
BUDAYA DI INDONESIA
Jika kita teliti budaya Indonesia, maka budaya itu terdiri dari 5
lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam
dan Kristen
Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang
berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau lebih
setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di
Sumba, Kaharingan di Kalimantan.
Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradapan yang
menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu
ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju
kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam
Asi, aku adalah engkau.
Lapisan ketiga adalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai
yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai
pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.
Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap
tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan
terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan
menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak
yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya
bangsa.
Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan.
Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih
yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak
menuntutbalasan yaitukasih tanpa syarat.
Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah
mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan
agama, suku dan ras.
Dari segi budaya, agama-agama di Indonesia adalah aset bangsa, sebab
agama-agama itu telah memberikan sesuatu bagi kita sebagai warisan yang perlu
dipelihara. Kalau pada waktu zaman lampau agama-agama bekerja sendiri-sendiri
maka dalam zaman milenium ke 3 ini agama-agama perlu bersama-sama memelihara
dan mengembangkan aset bangsa tersebut.
Cita-cita ini barulah dapat diwujudkan apabila setiap golongan agama
menghargai legacy tersebut Tetapi yang sering terjadi adalah sebaliknya sebab
kita tidak sadar tentang nilai aset itu bagi bagi pengembangan budaya
Indonesia. Karena ketidak sadaran itu maka kita melecehkan suatu golongan agama
sebagai golongan yang tidak pernah berbuat apa-apa. Kalaupun besar nilainya,
tapi karena hasil-hasil itu bukan dari golonganku, maka kita merasa tidak perlu
mensyukurinya. Persoalan kita, bagaimana kita dapat menghargai monumen-monumen
budaya itu sebagai milik bangsa, untuk itu kita perlu:
1)
Mengembangkan religius literacy
Tujuannya agar dalam kehidupan pluralisme keagamaan perlu dikembangkan
religious literacy, yaitu sikap terbuka terhadap agama lain yaitu dengan
jalan melek agama. Pengembangan religious literacy sama dengan pemberantasan
buta huruf dalam pendidikan.
2)
Mengembangkan legacy spiritual dari agama-agama
Telah kita ungkapkan sebelumnya tentang legacy spiritual dari
setiap agama di Indonesia. Legacy itu dapat menjadi wacana bersama
menghadapi krisis-krisis Indonesia
yang multi dimensi ini. Masalah yang kita hadapi yang paling berat adalah
masalah korupsi, supremasi hukum dan keadilan sosial. Berdasarkan legacy yang
tersebut sebelumnya, bahwa setiap agama mempunyai modal dasar dalam menghadapi
masalah-masalah tersebut, tetapi belum pernah ada suatu wacana bersama-sama
untuk melahirkan suatu pendapat bersama yang bersifat operasional
E.
PERTEMUAN
ISLAM DAN BUDAYA NUSANTARA
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi
budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan
tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan
Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam
sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam
sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great
tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut
dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local)
atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.
Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang
permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada
ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi
keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak
umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center (pusat)
yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence-
kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi
local ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang
meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa
karya-karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini
kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan
menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh
kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang
tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat
Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks
inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia.
Di sisi lain budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang
dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus dikembangkan
dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan
“akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.
Keragaman budaya menjadi salah satu ciri utama yang dimiliki masyarakat
Indonesia. Dari zaman ketika kerajaan-kerajaan masih hadir menghidupi ruang
sejarah negeri ini hingga era modern seperti kini, keragaman itu tetap ada,
bahkan nampak semakin bertambah. Ketidaksamaan itu kini tidak lagi memonopoli
perkotaan besar yang biasanya menjadi tempat bermuaranya berbagai macam budaya
dan agama.
Gerak hidup Islam di Jawa memiliki keunikan tersendiri disbanding dengan
Islam lainnya di negeri ini, meskipun hal ini tidak mutlak dapat dijadikan
pijakan, namun setidaknya Islam Jawa memiliki karakteristik tertentu di antara
yang lain. Bahkan Gertz seorang antropolog terkenal dunia sampai melakukan
studi penelitian dalam waktu cukup lama untuk membaca wajah Islam di Jawa.
Dengan sampling masyarakat Islam Mojokuto, Gertz berkesimpulan bahwa Islam Jawa
memiliki tiga strata dalam praktiknya, santri, abangan, dan priyayi. Meskipun
banyak mendapat kritik, dalam beberapa hal saya piker Gertz memang benar.
Keunikan Islam Jawa menurut tesis Gertz menurut saya terletak pada gerak
spritualitas yang dilakukan oleh Golongan Abangan. Di akar budaya yang dimiliki
oleh golongan ini, kekerasan budaya tidaklah nampak begitu menonjol. Bahkan
dalam pertemuan antara Islam dan budaya Jawa dalam diri mereka terlihat begitu
mesra. Baik unsure Islam maupun Jawa, terlihat ada saling mengerti.
Gerusan-gerusan yang mungkin dapat dikatakan sebagai sinkretisme budaya ini
berjalan pelan dan akhirnya menjadi sini
BAB III
BAB III
KESIMPULAN
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia
membawa perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Candi
dan petirtaan tidak dibangun lagi, tetapi kemudian muncul mesjid, surau, dan
makam. System kasta di dalam masyarakat dihapus, arca dewa-dewa serta
bentuk-bentuk zoomorphic tidak lagi dibuat. Para seniman ukir kemudian menekuni
pembuatan kaligrafi, mengembangkan ragam hias flora dan geometris, serta
melahirkan ragam hias stiliran.
Kota-kota mempunyai komponen dan tata
ruang baru, bahkan pada abad XVII M Sultan Agung memunculkan kalender Caka dan
Hijriah. Akan tetapi, pada sisi lain budaya tidak dapat dikotak-kotakkan,
sehingga terjadi pula kesinambungan-kesinambungan yang inovatif sifatnya.
Masjid dan cunggup makam mengambil bentuk atap tumpang, seperti mesjid Agung
Demak, yang bentuk dasarnya sudah dikenal pada masa sebelumnya sebagaimana
tampak pada beberapa relief candi. Demikian pula menara mesjid tempat muazin
menyerukan azan, seperti menara di Masjid Menara di Kudus. Bentuk dasarnya
tidak jauh berbeda dari candi gaya Jawa Timur yang langsing dan tinggi, tetapi
detailnya berbeda. Bagian kepalanya berupa bangunan terbuka, relung-relungnya
dangkal karena tidak berisi arca, dan hiasan relief diganti dengan tempelan
piring porselin.
Bangunan makam Islam merupakan hal baru di
Indnesia kala itu, karenanya tercipta nisan, jirat, dan juga cungkub, dalam
berbagai bentuk karya seni. Nisan makam-makam tertua di Jawa, seperti makam
Fatimah bin Maimun dan Makam Malik Ibrahim, menurut penelitian merupakan benda
yang diimpr dalam bentuk jadi, sebagaimana tampak dari gaya tulisan Arab pada
prasastinya dan jenis ornamentasi yang digunakan. Namun, nisan makam-makam
berikutnya dibuat di Indonesia
oleh seniman-seniman setempat. Hal ini antara lain tampak dari ragam hias yang
digunakan, misalnya lengkung kurawal, patra, dsb. Bahkan di pemakaman raja-raja
Binamu di Jeneponto (Sulawesi Selatan) di atas jirat ada patung orang yang
dimakamkan. Ini adalah suatu hal yang tidak pernah terjadi di tempat lain.
Ada satu hal yang patut kita syukuri dalam
kehidupan beragama di Tanah Air Indonesia. Di Tanah Air umat Islam dari
berbagai aliran dapat hidup rukun. Keadaan seperti ini sudah “tercipta” sejak
masa awal kedatangan Islam di Nusantara. Para
penyiar agama melakukan penyampaian dengan cara persuasif dan menyesuaikan
dengan budaya setempat, misalnya Wali Sanga menyampaikan syiar Islam dengan
cara menggunakan sarana wayang. Tidak ada sedikitpun unsur pemaksaan. Sementara
itu di belahan dunia lain, kita lihat bagaimana Libanon, Irak, dan Afghanistan
sampai hancur-hancuran sebagai akibat pertikaian sesama umat Islam yang mungkin
disebabkan karena adu domba pihak lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri komentar atau like...masukan dan sarannya yang sifatx membangun sangat kami harapkan...