Pada hukum positif Indonesia asasnya perkara pidana tidak
dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu
dimungkinkan adanya penyelesaian kasus di luar pengadilan. Akan tetapi,
praktik penegakan hukum di Indonesia sering juga perkara pidana
diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi aparat penegak hukum,
mekanisme perdamaian, lembaga adat dan lain sebagainya.
Implikasi praktek penyelesaian perkara di luar pengadilan
selama ini memang tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga lazim juga
terjadi suatu kasus secara informal telah dilakukan penyelesaian damai melalui
mekanisme hukum adat, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum
positif yang berlaku. Konsekuensi makin diterapkan eksistensi mediasi penal
sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara dibidang hukum pidana
melalui restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbedaan antara
hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak
berfungsi.
Eksistensi penyelesaian perkara di luar pengadilan
melalui mediasi penal merupakan dimensi baru dikaji dari aspek teoretis dan
praktik. Dikaji dari dimensi praktik maka mediasi penal akan berkorelasi
dengan pencapaian dunia peradilan. Seiring berjalannya waktu dimana semakin
hari terjadi peningkatan jumlah volume perkara dengan segala bentuk maupun
variasinya yang masuk ke pengadilan, sehingga konsekuensinya menjadi beban
bagi pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara sesuai asas “peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan” tanpa harus mengorbankan pencapaian
tujuan peradilan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Apakah
semua macam perkara pidana harus diajukan dan diselesaikan dimuka
pengadilan, ataukah ada perkara-perkara tertentu, yang memungkinkan untuk
diselesaikan melalui pola mediasi penal. Pada polarisasi dan mekanisme
mediasi penal, sepanjang hal tersebut sungguh-sungguh dikehendaki bersama
oleh para pihak (tersangka dan korban), serta untuk mencapai kepentingan
yang lebih luas, yaitu terpeliharanya harmonisasi sosial.
Mudzakkir mengemukakan beberapa kategorisasi
sebagai tolok ukur dan ruang lingkup terhadap perkara yang dapat
diselesaikan di luar pengadilan melalui mediasi penal adalah sebagai
berikut:
1)
Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori
delik aduan, baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat
relatif.
2)
Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana
denda sebagai ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut
(Pasal 80 KUHP).
3)
Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori
“pelanggaran”, bukan “kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda.
4)
Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak
pidana di bidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.
5)
Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori
ringan/serba ringan dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk
melakukan diskresi.
6)
Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau
tidak diproses ke pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan
wewenang hukum yang dimilikinya.
7)
Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori
pelanggaran hukum pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat.
Selain dimensi di atas, maka eksistensi mediasi
penal dapat dikaji dari perspektif filosofis, sosiologis dan yuridis. Pada
perspektif filosofis, maka eksistensi mediasi penal mengandung asas
diterapkannya solusi “menang-menang” (win-win)
dan bukan berakhir dengan situasi “kalah-kalah” (lost-lost) atau “menang-kalah” (win-lost) sebagaimana ingin dicapai oleh peradilan dengan
pencapaian keadilan formal melalui proses hukum litigatif (law enforcement process).
Melalui proses mediasi penal maka diperoleh puncak
keadilan tertinggi karena terjadinya kesepakatan para pihak yang terlibat
dalam perkara pidana tersebut yaitu antara pihak pelaku dan korban. Pihak
korban maupun pelaku diharapkan dapat mencari dan mencapai solusi serta
alternatif terbaik untuk menyelesaikan perkara tersebut. Implikasi dari
pencapaian ini maka pihak pelaku dan korban dapat mengajukan kompensasi
yang ditawarkan, disepakati dan dirundingkan antar mereka bersama sehingga
solusi yang dicapai bersifat “menang-menang” (win-win). Selain itu, melalui mediasi penal ini akan
mempunyai implikasi bersifat positif dimana secara filosofis dicapainya
peradilan dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan karena pihak
yang terlibat relatif lebih sedikit dibandingkan melalui proses peradilan
dengan komponen Sistem Peradilan Pidana.
Dikaji dari perpektif sosiologis maka aspek ini
berorientasi pada masyarakat Indonesia dimana akar budaya masyaratkannya
berorientasi pada nilai budaya kekeluargaan, mengkedepankan asas musyawarah
mufakat untuk menyelesaikan suatu sengketa dalam suatu sistem sosial.
Tegasnya, aspek dan dimensi tersebut diselesaikan melalui dimensi kearifan
lokal hukum adat. Melalui sejarah hukum dapat diketahui bahwa hukum yang
mula pertama berlaku dan merupakan pencerminan kesadaran hukum rakyat
Indonesia ialah kearifan lokal hukum adat. Aspek dan dimensi ini identik
dengan theorie receptie dari
Snouck Hurgronje.
Untuk jangka masa yang cukup lama hukum adat ini sebagai suatu norma hukum,
bersama-sama dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama Hindu,
memainkan peranannya berfungsi sebagai alat pengendalian sosial.
Konsekuensi logis sebagai alat pengendalian sosial maka kearifan lokal
hukum adat lahir, tumbuh dan berkembang dalam suatu sistem sosial.
Sistem sosial adalah suatu sistem interaksi, jadi suatu
tindakan manusia, yang melibatkan sejumlah individu. Sistem tindakan
manusia itu, sebagai suatu sistem, tersusun atas jumlah bagian, yang
disebut subsistem, yang saling berkaitan dan saling mendukung. Tiap bagian
atau subsistem mempunyai fungsi tertentu terhadap sistem yang meliputinya. Talcott Parsons menyebut
ada 4 (empat) fungsi yang meliputi, yaitu:
1.
Fungsi adaptasi (Adaptation), yaitu penyesuaian diri terhadap situasi
dan lingkungan. Fungsi ini menunjuk pada keharusan bagi sistem-sistem
sosial untuk menghadapi lingkungannya
2.
Fungsi pencapaian tujuan (Goal attainment), yang merupakan pencapaian sasaran atau
tujuan. Parsons beranggapan bahwa suatu tindakan diarahkan pada tujuannya.
Namun perhatian yang diutamakan di sini bukanlah tujuan pribadi individu,
melainkan tujuan bersama para anggota dalam suatu sistem social
3.
Fungsi integrasi (Integration) adalah memadukan atau mengakomodasikan
pelbagai faktor yang terkait pada pencapaian tujuan. Yang terdiri atas
penjaminan koordinasi yang perlu antara unit-unit dari sistem sosial
berkaitan dengan kontribusi tiap unit pada organisasi dan berfungsinya secara
keseluruhan
4.
Fungsi pemeliharaan pola atau latensi (patterns maintence atau latency) yaitu melestarikan
pola-pola yang sudah terbentuk berdasarkan nilai-nilai.
BAB III
PENGKAJIAN TERHADAP ASAS, NORMA DAN TEORI PENYELESAIAN PERKARA DI
LUAR PENGADILAN MELALUI
DIMENSI MEDIASI PENAL
Penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi
penal merupakan perkembangan baru dalam ranah hukum pidana yang membawa
implikasi mulai diterapkan dimensi bersifat privat ke dalam ranah hukum publik.
Pada dimensi mediasi penal ini yang dicapai bukan keadilan formal (formal justice) melalui
sub sistem Peradilan Pidana yang diatur dalam peraturan bersifat legal
formal.
Apabila diuraikan lebih detail, hakikat mediasi penal
dikembangkan dengan bertolak dari ide dan prinsip kerja sebagai berikut:
1.
Penanganan konflik. Tugas mediator adalah membuat
para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam
proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah
menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses
mediasi.
2.
Berorientasi pada proses. Mediasi penal lebih
berorientasi pada kualitas proses dari pada hasil, yaitu: menyadarkan
pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan,
ketenangan korban dari rasa takut, dan sebagainya.
3.
Proses informal. Mediasi penal merupakan suatu
proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum
yang ketat.
4.
Ada patisipasi aktif dan otonom pada pihak. Para
pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum
pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggung jawab pribadi
dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya
sendiri.
Kemudian terhadap mediasi penal ini
dalam “Explanatory memorandum” dari rekomendasi Dewan Eropa No. R. (99) 19
tentang “Mediation in Penal
Matters”, dikemukakan model mediasi penal sebagai berikut :
1)
Model “informal
mediation”
Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice personnel)
dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum
dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal dengan
tujuan tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan. Pada
model ini dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation officer), oleh pejabat polisi atau Hakim.
2)
Model “Traditional
village or tribal moots”
Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan
konflik kejahatan diantara warganya dan terdapat pada beberapa negara yang
kurang maju dan berada di wilayah pedesaan/pedalaman. Asasnya, model ini
mendahulukan hukum barat dan telah memberi inspirasi bagi kebanyakan
program-program mediasi modern. Program mediasi modern sering mencoba
memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam
bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak
individu yang diakuinya menurut hukum.
3)
Model “Victim-offender
mediation”
Menurut model ini maka mediasi antara korban dan pelaku merupakan
model yang paling sering ada dalam pikiran orang. Model ini melibatkan
bebagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk.
Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat
formal, mediator independen, atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan
pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksaan polisi, tahap
penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model ini ada yang
diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana, ada yang untuk tipe
tindak pidana tertentu (misalnya pengutilan, perampokan dan tindak
kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula,
namun ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk recidivist.
4)
Model “Reparation
negotiation programmes”
Model ini semata-mata untuk menaksir atau menilai kompensasi atau
perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban,
biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini berhubungan
dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan
perencanaan perbaikan materiel. Dalam model ini, pelaku tidak pidana
dapat dikenakan program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar
ganti rugi/kompensasi.
5)
Model “Community
panels of Courts”
Model ini merupakan program untuk membelokan kasus pidana dari
penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan
informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.
6)
Model “Family
and community group conferences”
Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang
melibatkan partisipasi masyarakat dalam SPP (sistem peradilan pidana).
Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga
keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti
polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban. Pelaku dan keluarganya
diharapkan menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban
serta dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari
kesusahan/persoalan berikutnya.
Dalam perkembangannya, penyelesaian perkara di luar
pengadilan maka tidak semua perkara pidana dapat dilakukan melalui dimensi
mediasi penal. T. Gayus Lumbuun menyebutkan
bahwa kasus hukum yang memiliki preferensi untuk diselesaikan melalui ADR
adalah sebagai berikut :
Pertama, kasus-kasus yang pelaku (atau
tersangka pelaku) tidak melibatkan negara. Atau, dapat pula diprioritaskan
untuk tindak pidana yang termasuk kategori delik aduan. Di samping itu ADR
juga dapat diperluas mencakup tindak pidana yang korbannya adalah
masyarakat atau warga negara sehingga mereka sendiri yang mengungkapkan
tingkat kerugian yang dialaminya.
Kedua, tindakan pidana yang walaupun
melibatkan negara (sebagai tersangka pelaku), tetapi memerlukan
penyelesaian mengingat berdampak langsung kepada masyarakat.
Misalnya, untuk tindak pidana di bidang ekonomi dimana
negara mengharapkan adanya pengembalian dana negara dalam kasus-kasus
korupsi.
Pada dasarnya, konteks penyelesaian perkara di luar
pengadilan melalui mediasi penal puncaknya diharapkan dapat menekan
penumpukan perkara (congestion)
di pengadilan khususnya pada tingkat Mahkamah Agung.
BAB IV
KESIMPULAN
Penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi
penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia dari perspektif pengkajian Asas, Norma, Teori dan
Praktik eksistensinya antara “ada” dan “tiada”. Dikatakan
demikian, di satu sisi oleh karena mediasi penal dalam ketentuan
undang-undang tidak dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana akan tetapi dalam
tataran di bawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui diskresi
penegak hukum, terbatas dan sifatnya parsial. Kemudian, di sisi lainnya
ternyata praktik mediasi penal telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia
dan penyelesaian tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti melalui
mekanisme lembaga adat
Melalui dimensi perspektif pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik maka dalam Sistem
Peradilan Pidana Indonesia sudah waktunya apabila penyelesaian perkara di
luar pengadilan melalui mediasi penal diatur secara tegas dalam produk
undang-undang khususnya terhadap perkara yang sifatnya ringan, kecil,
bersifat pribadi dan dilakukan oleh pelaku dalam masa psikologis relatif
baru berkembang sehingga kedepan diharapkan dapat menekan penumpukan
perkara kebadan peradilan.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri komentar atau like...masukan dan sarannya yang sifatx membangun sangat kami harapkan...