Senin, 06 Agustus 2012

PENYELESAIAN PERKARA DI LUAR PENGADILAN MELALUI DI MENSI MEDIASI PENAL

BAB  I
PENDAHULUAN

Dimensi Ilmu Hukum hakikatnya teramat luas. Diibaratkan sebuah “pohon”, hukum adalah sebuah pohon besar dan rindang yang terdiri dari daun, akar, ranting, batang, buah yang teramat lebat. Karena begitu lebatnya hukum tersebut dapat dikaji dari perspektif asasnya, sumbernya, pembedaannya, penggolongannya dan lain sebagainya. Apabila dikaji dari perspektif penggolongannya hukum dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, bentuknya, isinya, tempat berlakunya, masa berlakunya, cara mempertahankannya, sifatnya, dan berdasarkan wujudnya.

Dikaji dari perspektif pembagian hukum berdasarkan isinya maka dikenal klasifikasi hukum publik dan hukum privat. Lebih lanjut, menurut doktrin, ketentuan hukum publik merupakan hukum yang mengatur kepentingan umum (algemene belangen) sedangkan ketentuan hukum privat mengatur kepentingan perorangan (bijzondere belangen). Apabila ditinjau dari aspek fungsinya maka salah satu ruang lingkup hukum publik adalah hukum pidana yang secara esensial dapat dibagi menjadi hukum pidana materiil (materieel strafrecht) dan hukum pidana formal (Formeel Strafrecht/Strafprocesrecht).
Dikaji dari perspektif sejarahnya, bahwa hukum pidana yang bersifat hukum publik seperti dikenal sekarang ini  telah  melalui  suatu perkembangan  yang  panjang.  Perkembangan hukum pidana dipandang sebagai suatu tindakan merusak atau merugikan kepentingan orang lain dan disusuli suatu pembalasan. Pembalasan itu  umumnya tidak hanya merupakan kewajiban dari seseorang yang dirugikan atau terkena  tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban dari seluruh keluarga, famili dan bahkan beberapa hal menjadi kewajiban dari masyarakat.
Konsekuensi logis dimensi perkembangan hukum pidana sebagaimana konteks di atas, ada sifat privat dari hukum pidana. Seiring berjalannya waktu dan masyarakat hukum yang relatif lebih maju maka hukum pidana kemudian mengarah, lahir, tumbuh dan berkembang menjadi bagian dari hukum publik seperti dikenal sekarang ini. Secara gradual, hukum pidana sebagai bagian hukum publik eksistensinya bertujuan melindungi kepentingan masyarakat dan negara dengan melakukan perimbangan yang serasi dan selaras antara kejahatan di satu pihak dari tindakan penguasa yang bertindak secara sewenang-wenang di lain pihak.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, perubahan dan dinamika masyarakat yang teramat kompleks di satu sisi sedangkan di sisi lainnya terhadap regulasi pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan legislasi yang bersifat parsial ternyata sifat publik dari hukum pidana bergeser sifatnya karena relatif juga memasuki ranah privat dengan dikenal dan dipraktekan mediasi penal (penal mediation) sebagai sebuah bentuk penyelesaian perkara di luar pengadilan.
Dikaji dari perspektif terminologinya maka mediasi penal dikenal dengan istilah mediation in criminal cases, mediation in penal matters, victim offenders mediation, offender victim arrangement (Inggris), strafbemiddeling (Belanda), der AuBergerichtliche Tatausgleich (Jerman), de mediation penale (Perancis).
Pada dasarnya, mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Alternative Dispute Resolution/ADR) yang lazim diterapkan terhadap perkara perdata. Pada dimensi ini, ADR di luar pengadilan telah diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam hubungan ini telah terdapat beberapa lembaga pendorong metode ADR, antara lain Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang memfokuskan pada dunia perdagangan dan ADR dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi (UU Nomor 18 Tahun 1999 jo UU Nomor 29 Tahun 2000 jo PP Nomor 29 Tahu 2000) dengan yurisdiksi bidang keperdataan. Begitu pula ADR dikenal juga menyangkut hak cipta dan karya intelektual, perburuhan, persaingan usaha, perlindungan konsumen, lingkungan hidup dan lain-lain.



BAB  II
PENYELESAIAN PERKARA DI LUAR PENGADILAN DALAM KONTEKS MEDIASI PENAL



Pada hukum positif Indonesia asasnya perkara pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian kasus di luar pengadilan. Akan tetapi, praktik penegakan hukum di Indonesia sering juga perkara pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi aparat penegak hukum, mekanisme perdamaian, lembaga adat dan lain sebagainya.
Implikasi praktek penyelesaian perkara di luar pengadilan selama ini memang tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga lazim juga terjadi suatu kasus secara informal telah dilakukan penyelesaian damai melalui mekanisme hukum adat, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum positif yang berlaku. Konsekuensi makin diterapkan eksistensi mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara dibidang hukum pidana melalui restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi.
Eksistensi penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal merupakan dimensi baru dikaji dari aspek teoretis dan praktik. Dikaji dari dimensi praktik maka mediasi penal akan berkorelasi dengan pencapaian dunia peradilan. Seiring berjalannya waktu dimana semakin hari terjadi peningkatan jumlah volume perkara dengan segala bentuk maupun variasinya yang masuk ke pengadilan, sehingga konsekuensinya menjadi beban bagi pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara sesuai asas “peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan” tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan peradilan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Apakah semua macam perkara pidana harus diajukan dan diselesaikan dimuka pengadilan, ataukah ada perkara-perkara tertentu, yang memungkinkan untuk diselesaikan melalui pola mediasi penal. Pada polarisasi dan mekanisme mediasi penal, sepanjang hal tersebut sungguh-sungguh dikehendaki bersama oleh para pihak (tersangka dan korban), serta untuk mencapai kepentingan yang lebih luas, yaitu terpeliharanya harmonisasi sosial.
Mudzakkir mengemukakan beberapa kategorisasi sebagai tolok ukur dan ruang lingkup terhadap perkara yang dapat diselesaikan di luar pengadilan melalui mediasi penal adalah sebagai berikut:
1)      Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.
2)      Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP).
3)      Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”, bukan “kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda.
4)      Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.
5)      Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba ringan dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.

6)      Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang dimilikinya.
7)      Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat.
 Selain dimensi di atas, maka eksistensi mediasi penal dapat dikaji dari perspektif filosofis, sosiologis dan yuridis. Pada perspektif filosofis, maka eksistensi mediasi penal mengandung asas diterapkannya solusi “menang-menang” (win-win) dan bukan berakhir dengan situasi “kalah-kalah” (lost-lost) atau “menang-kalah” (win-lost) sebagaimana ingin dicapai oleh peradilan dengan pencapaian keadilan formal melalui proses hukum litigatif (law enforcement process).
Melalui proses mediasi penal maka diperoleh puncak keadilan tertinggi karena terjadinya kesepakatan para pihak yang terlibat dalam perkara pidana tersebut yaitu antara pihak pelaku dan korban. Pihak korban maupun pelaku diharapkan dapat mencari dan mencapai solusi serta alternatif terbaik untuk menyelesaikan perkara tersebut. Implikasi dari pencapaian ini maka pihak pelaku dan korban dapat mengajukan kompensasi yang ditawarkan, disepakati dan dirundingkan antar mereka bersama sehingga solusi yang dicapai bersifat “menang-menang” (win-win). Selain itu, melalui mediasi penal ini akan mempunyai implikasi bersifat positif dimana secara filosofis dicapainya peradilan dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan karena pihak yang terlibat relatif lebih sedikit dibandingkan melalui proses peradilan dengan komponen Sistem Peradilan Pidana.
Dikaji dari perpektif sosiologis maka aspek ini berorientasi pada masyarakat Indonesia dimana akar budaya masyaratkannya berorientasi pada nilai budaya kekeluargaan, mengkedepankan asas musyawarah mufakat untuk menyelesaikan suatu sengketa dalam suatu sistem sosial. Tegasnya, aspek dan dimensi tersebut diselesaikan melalui dimensi kearifan lokal hukum adat. Melalui sejarah hukum dapat diketahui bahwa hukum yang mula pertama berlaku dan merupakan pencerminan kesadaran hukum rakyat Indonesia ialah kearifan lokal hukum adat. Aspek dan dimensi ini identik dengan theorie receptie dari Snouck Hurgronje. Untuk jangka masa yang cukup lama hukum adat ini sebagai suatu norma hukum, bersama-sama dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama Hindu, memainkan peranannya berfungsi sebagai alat pengendalian sosial. Konsekuensi logis sebagai alat pengendalian sosial maka kearifan lokal hukum adat lahir, tumbuh dan berkembang dalam suatu sistem sosial.
Sistem sosial adalah suatu sistem interaksi, jadi suatu tindakan manusia, yang melibatkan sejumlah individu. Sistem tindakan manusia itu, sebagai suatu sistem, tersusun atas jumlah bagian, yang disebut subsistem, yang saling berkaitan dan saling mendukung. Tiap bagian atau subsistem mempunyai fungsi tertentu terhadap sistem yang meliputinya. Talcott Parsons menyebut ada 4 (empat) fungsi yang meliputi, yaitu:
1.         Fungsi adaptasi (Adaptation), yaitu penyesuaian diri terhadap situasi dan lingkungan. Fungsi ini menunjuk pada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya
2.         Fungsi pencapaian tujuan (Goal attainment), yang merupakan pencapaian sasaran atau tujuan. Parsons beranggapan bahwa suatu tindakan diarahkan pada tujuannya. Namun perhatian yang diutamakan di sini bukanlah tujuan pribadi individu, melainkan tujuan bersama para anggota dalam suatu sistem social

3.         Fungsi integrasi (Integration) adalah memadukan atau mengakomodasikan pelbagai faktor yang terkait pada pencapaian tujuan. Yang terdiri atas penjaminan koordinasi yang perlu antara unit-unit dari sistem sosial berkaitan dengan kontribusi tiap unit pada organisasi dan berfungsinya secara keseluruhan
4.         Fungsi pemeliharaan pola atau latensi (patterns maintence atau latency) yaitu melestarikan pola-pola yang sudah terbentuk berdasarkan nilai-nilai.



BAB  III
PENGKAJIAN TERHADAP ASAS, NORMA DAN TEORI PENYELESAIAN PERKARA DI LUAR PENGADILAN               MELALUI DIMENSI MEDIASI PENAL
Penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal merupakan perkembangan baru dalam ranah hukum pidana yang membawa implikasi mulai diterapkan dimensi bersifat privat ke dalam ranah hukum publik. Pada dimensi mediasi penal ini yang dicapai bukan keadilan formal (formal justice) melalui sub sistem Peradilan Pidana yang diatur dalam peraturan bersifat legal formal.
Apabila diuraikan lebih detail, hakikat mediasi penal dikembangkan dengan bertolak dari ide dan prinsip kerja sebagai berikut:
1.      Penanganan konflik. Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.
2.      Berorientasi pada proses. Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses dari pada hasil, yaitu: menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut, dan sebagainya.
3.      Proses informal. Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
4.      Ada patisipasi aktif dan otonom pada pihak. Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.
    Kemudian terhadap mediasi penal ini dalam “Explanatory memorandum” dari rekomendasi Dewan Eropa No. R. (99) 19 tentang Mediation in Penal Matters”, dikemukakan model mediasi penal sebagai berikut :
1)      Model “informal mediation”
Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice personnel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal dengan tujuan tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan. Pada model ini dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation officer), oleh pejabat polisi atau Hakim.
2)      Model “Traditional village or tribal moots”
Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik kejahatan diantara warganya dan terdapat pada beberapa negara yang kurang maju dan berada di wilayah pedesaan/pedalaman. Asasnya, model ini mendahulukan hukum barat dan telah memberi inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi modern. Program mediasi modern sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakuinya menurut hukum.


3)      Model “Victim-offender mediation”
Menurut model ini maka mediasi antara korban dan pelaku merupakan model yang paling sering ada dalam pikiran orang. Model ini melibatkan bebagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksaan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana, ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misalnya pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk recidivist.
4)      Model “Reparation negotiation programmes”
Model ini semata-mata untuk menaksir atau menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiel. Dalam  model ini, pelaku tidak pidana dapat dikenakan program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/kompensasi.
5)      Model “Community panels of Courts”
Model ini merupakan program untuk membelokan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.

6)      Model “Family and community group conferences”   
Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam SPP (sistem peradilan pidana). Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya.
Dalam perkembangannya, penyelesaian perkara di luar pengadilan maka tidak semua perkara pidana dapat dilakukan melalui dimensi mediasi penal. T. Gayus Lumbuun menyebutkan bahwa kasus hukum yang memiliki preferensi untuk diselesaikan melalui ADR adalah sebagai berikut :
Pertama, kasus-kasus yang pelaku (atau tersangka pelaku) tidak melibatkan negara. Atau, dapat pula diprioritaskan untuk tindak pidana yang termasuk kategori delik aduan. Di samping itu ADR juga dapat diperluas mencakup tindak pidana yang korbannya adalah masyarakat atau warga negara sehingga mereka sendiri yang mengungkapkan tingkat kerugian yang dialaminya.
Kedua, tindakan pidana yang walaupun melibatkan negara (sebagai tersangka pelaku), tetapi memerlukan penyelesaian mengingat berdampak langsung kepada masyarakat.

Misalnya, untuk tindak pidana di bidang ekonomi dimana negara mengharapkan adanya pengembalian dana negara dalam kasus-kasus korupsi.
Pada dasarnya, konteks penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal puncaknya diharapkan dapat menekan penumpukan perkara (congestion) di pengadilan khususnya pada tingkat Mahkamah Agung.


BAB  IV
KESIMPULAN

Penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia dari perspektif pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik eksistensinya antara “ada” dan “tiada”. Dikatakan demikian, di satu sisi oleh karena mediasi penal dalam ketentuan undang-undang tidak dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana akan tetapi dalam tataran di bawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui diskresi penegak hukum, terbatas dan sifatnya parsial. Kemudian, di sisi lainnya ternyata praktik mediasi penal telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan penyelesaian tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti melalui mekanisme lembaga adat
Melalui dimensi perspektif pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik maka dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia sudah waktunya apabila penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal diatur secara tegas dalam produk undang-undang khususnya terhadap perkara yang sifatnya ringan, kecil, bersifat pribadi dan dilakukan oleh pelaku dalam masa psikologis relatif baru berkembang sehingga kedepan diharapkan dapat menekan penumpukan perkara kebadan peradilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri komentar atau like...masukan dan sarannya yang sifatx membangun sangat kami harapkan...